Tuhan, maafkan aku.
-3-
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Jumat, 28 November 2014
/
Comments: (0)
Kelak, aku akan membisikan sesuatu padamu, Bapak. Di atas batu nisanmu, selepas aku panjatkan doa-doa, bersiaplah mendengar nada paling bahagia keluar dari mulutku; Sebuah nama dari seseorang yang akan menjadikan kebahagiaanku sebagai tujuan hidupnya, yang mengharamkan perkataan dan tindakannya melukai perasaanku, yang dengan apa adanya dia; mau melukiskan warna kehidupan yang begitu berkesan, begitu bersahaja untukku.
-2-
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Minggu, 16 November 2014
/
Comments: (0)
Satu hal yang pasti terjadi dalam hidupku:
mencintai seseorang.
Aku ingin sekali mengucapkan kalimat-kalimat permintaan maaf untuk seseorang yang bahkan tidak akan terlalu mengakui kesalahanku. Aku mencintainya. Itu sudah pasti. Karena perasaan itulah, seringkali aku membuatnya pusing. Bukan karena kasus cinta bertepuk sebelah tangan atau yang sejenisnya. Melainkan lebih karena aku membuat keadaan apapun yang berhubungan dengannya menjadi terkesan rumit. Bukan karena aku ingin mempersulitnya. Jelas bukan. Tetapi karena aku begitu menakuti kemungkinan kehilangannya, serta kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya yang akan membuatnya menjadi begitu jauh denganku. Aku mengakui sebuah fakta bahwa aku wanita yang rumit. Meskipun kebanyakan pria berasumsi bahwa semua wanita itu rumit, aku bahkan lebih rumit dari wanita-wanita pada umumnya terlebih ketika dihadapkan dengan segala hal yang berbau dia. Seringkali dia memintaku membuat segala urusan khususnya urusan kami berdua menjadi simpel. Jika dia sudah berkata demikian, itu pertanda bahwa dia sudah benar-benar pusing menghadapiku.
Aku ingin sekali mengucapkan kalimat-kalimat permintaan maaf untuk seseorang yang bahkan tidak akan terlalu mengakui kesalahanku. Aku mencintainya. Itu sudah pasti. Karena perasaan itulah, seringkali aku membuatnya pusing. Bukan karena kasus cinta bertepuk sebelah tangan atau yang sejenisnya. Melainkan lebih karena aku membuat keadaan apapun yang berhubungan dengannya menjadi terkesan rumit. Bukan karena aku ingin mempersulitnya. Jelas bukan. Tetapi karena aku begitu menakuti kemungkinan kehilangannya, serta kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya yang akan membuatnya menjadi begitu jauh denganku. Aku mengakui sebuah fakta bahwa aku wanita yang rumit. Meskipun kebanyakan pria berasumsi bahwa semua wanita itu rumit, aku bahkan lebih rumit dari wanita-wanita pada umumnya terlebih ketika dihadapkan dengan segala hal yang berbau dia. Seringkali dia memintaku membuat segala urusan khususnya urusan kami berdua menjadi simpel. Jika dia sudah berkata demikian, itu pertanda bahwa dia sudah benar-benar pusing menghadapiku.
Aku mencintainya. Sangat. Ada satu hal yang
betul-betul aku sukai darinya. Yang tidak pernah sekalipun aku temui di
lelaki-lelaki manapun yang pernah ku kenal. Aku tidak akan menyebutkan hal apa
yang ku sukai itu, begitupun juga aku tidak pernah menceritakannya padanya.
Karena siapa tahu ketika aku menceritakannya, dia malah menyuruhku berhenti
menyukai hal itu? Menyuruhku tidak berlebihan? Menyuruhku sederhana saja?
Karena kadang-kadang jalan pikiran kami bertentangan satu sama lain.
Sudah tak terhitung jari betapa seringnya aku
bermimpi tentangnya, yang berarti aku sangat mengharapkannya. Aku menyenangi
saat-saat dimana dia ada dalam jangkauan mataku. Begitu dekat. Kadang
bertingkah yang tidak-tidak, membuat kulit perutku sakit, dan justru membuatnya
menjadi seperti candu bagiku. Aku membutuhkannya. Sama seperti aku membutuhkan
sahabat untuk berbagi segala perasaan. Untuk waktu sekarang, aku tidak bisa
kehilangannya. Kehilangan dia sama saja kehilangan separuh kebahagiaanku di
Kota Istimewa ini. Terlepas dari seperti apa yang dia rasakan terhadapku, tidak
ada laki-laki lain yang kemudian terlintas di benakku menjadi seseorang yang
amat kucinta seperti dia. Tidak ada.
Tetapi bagaimana jika perasaan tidak nyaman
tiba-tiba muncul padaku? Entah karena dia selalu membentang "jarak"
yang semakin jauh denganku, entah karena sifat rumitku menuntut pengertian yang
sesungguhnya, entah karena ada beberapa nama yang sering membuat hatiku panas
dan cemburu, entah karena dia selalu mempersingkat kebersamaan denganku meski
keadaan tak mengharuskannya begitu, entah karena banyak hal-hal sederhana yang
tidak lagi mencuri perhatiannya, entah karena aku lelah terhadap sesuatu yang
aku sendiri tidak dapat mengerti, entah karena aku lebih memilih menyerah.
Entah karena apapun alasannya, ketika lama-lama
dia membuatku tak bisa mencintainya lagi, aku sudah memastikan bahwa aku akan
tetap mencintai seseorang. Entah untuk menyembuhkan luka-luka saat bersamanya,
entah untuk menetap selamanya, entah untuk belajar kembali mencintainya. Entah
pada orang yang berbeda atau kembali padanya, pada orang yang sama. Semuanya
hanya bergantung waktu. Tetapi sudah dipastikan, dalam hidupku, aku akan
mencintai seseorang.
-1-
Diposting oleh
Tita Nurlaila
/
Comments: (0)
Memangnya kamu pikir aku suka mendengarkan dongeng-dongengmu atau
apapapun itu namanya, dimana aku menjadi salah satu tokohnya, dan tentu
ada kamu, tapi ternyata ada yang lainnya juga? Memangnya kamu pikir aku
akan bertepuk tangan untuk itu? Lalu akan tersenyum dan berkata kalau
itu sungguh cerita yang menakjubkan? Memangnya tidak ada jalan cerita lain,
misal saja kamu menyihirku dan aku tertidur begitu lamanya sampai ada
pangeran tampan membangunkanku dan kami saling jatuh cinta, atau kamu
buat saja aku hilang ingatan dan berlari ketakutan ketika melihatmu
sebagai orang asing datang mendekap? Tidak bisakkah? Atau cukup kamu
diam saja dan biarkan aku menjalaninya dengan biasa!
Gadis Kecil
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Rabu, 12 November 2014
/
Comments: (0)
Gadis kecil,
Setiap angin menghempaskan diri
Dan kau tertawa
Setiap kedua matamu menyipit, ikut tertawa
Setiap kali rambutmu tersibak kuat
Kau seperti kehilangan fokus
Kau melupakannya;
bahwa kau harus menarik benangnya kuat-kuat!
Soalan perih di kedua tanganmu, ternyata
kau juga melupakannya.
Layang-layang
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Jumat, 07 November 2014
/
Comments: (0)
Angin, bawa saja dia sesukamu
Aku senang melihatnya meliuk-liuk
Bebas, lepas
Riang berkelepak
Seolah bercengkrama dengan burung-burung yang melintasi langit
Saling kejar, lalu tertawa
Lamat-lamat aku dapat mendengarnya
Angin, tetap saja jangan kau jauhkan dari pandanganku
Aku akan menarik benang yang kulilitkan di tangan,
agar kau tak membawanya terlalu jauh
agar dia tak meninggalkanku terlalu bebas
Aku akan mengulur benangnya lagi,
agar kau masih dapat bermain dengannya
agar dia tak kesepian, tentu
jika hanya ada aku
Angin, ini hanya pintaku;
Ketika benang yang melilit tanganku putus,
Ketika kuacungkan kedua lenganku,
tolong kembalikan dia
Jangan kau membawanya terlalu jauh
Sekali lagi:
Jangan kau bawa terlalu jauh!
Aku senang melihatnya meliuk-liuk
Bebas, lepas
Riang berkelepak
Seolah bercengkrama dengan burung-burung yang melintasi langit
Saling kejar, lalu tertawa
Lamat-lamat aku dapat mendengarnya
Angin, tetap saja jangan kau jauhkan dari pandanganku
Aku akan menarik benang yang kulilitkan di tangan,
agar kau tak membawanya terlalu jauh
agar dia tak meninggalkanku terlalu bebas
Aku akan mengulur benangnya lagi,
agar kau masih dapat bermain dengannya
agar dia tak kesepian, tentu
jika hanya ada aku
Angin, ini hanya pintaku;
Ketika benang yang melilit tanganku putus,
Ketika kuacungkan kedua lenganku,
tolong kembalikan dia
Jangan kau membawanya terlalu jauh
Sekali lagi:
Jangan kau bawa terlalu jauh!
Karena Aku Wanita (1)
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Kamis, 30 Oktober 2014
/
Comments: (0)
“ Karena wanita ingin dimengerti
Lewat tutur lembut dan laku agung”
Karena aku wanita. Makhluk yang katanya
gemar membolak-balikkan keadaan. Pernyataan itu tidak benar, yang kadang-kadang
bisa hampir benar, juga bisa menjadi benar. Semuanya bergantung perasaan.
Bergantung hati. Bergantung -kamu-. Ah, wanita memang makhluk perasa.
Ketika sesuatu yang disebut perasaan lebih condong
pada suatu keadaan yang kemudian ‘buktinya’ tidak sesuai kenyataan, maka
sebenarnya dia mencium bau tidak beres
dari -kamu-.
Misal ketika hati kecilku mengatakan ‘kamu ga boleh’,
tetapi karena aku tahu betul -kamu- menginginkannya, maka aku lebih memilih
mengatakan yang sebaliknya. ‘Iya sayang, silahkan, boleh, monggo’. Itu jauh lebih
baik dari didiamkan semalaman tanpa kabar; Salah satu reaksi yang mungkin
muncul ketika aku menginginkan yang tak -kamu-
inginkan atau tidak menginginkan yang -kamu- inginkan. Sungguh itu jauh lebih
baik. Jauh melegakan.
Misal juga ketika aku mengatakan ‘terserah’, terkadang
maksudnya bukan berarti membiarkanmu bebas melakukan apapun. Alasannya karena aku
tidak begitu suka disebut sebagai tukang ngatur, maka memang kata paling tepat
adalah ‘terserah’. Terserah apapun yang menurut -kamu- baik, lakukan saja.
Dan setelah aku mengenal -kamu-, aku bisa lebih
berdamai dengan hal-hal seperti itu. Daripada aku didiamkan semalaman, lebih
baik mengatakan sesuatu yang ingin -kamu- dengarkan bukan? Membohongi diri
sendiri? Itu bukan masalah lagi ketika ternyata tak dipedulikan lebih tidak
enak untuk dinikmati sendirian.
Salira
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Rabu, 29 Oktober 2014
/
Comments: (0)
Tiba-tiba teringat sepenggal lagu yang sering ibu nyanyikan di rumah.
Untuk "salira" yang selalu menuai segala rasa. Yang dikala Oktober ini
selalu "manis" mengajarkanku arti kesabaran dan mengakui kesalahan. Yang
tanpa disengaja, membuatku mau mengalah, mau menangis, mau bertahan,
mau terus menyayangi, mau berkorban, mau mencinta, mau menahan keluhan.
Meskipun ternyata setiap mau-ku tidak selalu berjalan mulus. Karena aku
wanita, dan terkadang aku ingin dimengerti lebih dari biasanya. Karena
aku wanita, dan aku seperti wanita lainnya punya indera "perasa" yang
lebih sensitif dari kalian kaum adam. Karena aku wanita, karena aku
calon isteri, calon ibu, ternyata aku harus belajar bagaimana
menyembunyikan rasa tidak enak yang menyerangku seketika, belajar
bagaimana mengontrol emosi agar pasangan yang kelak disebut-sebut sebagai suami
dapat merasa nyaman bersama kita. Terimakasih, karena "salira" sudah
mau membiasakan diri denganku yang seperti ini. Terimakasih juga karena
"salira" mau menunjukan segala sisi dari dirimu agar kelak jika aku
menjadi istrimu, aku tak perlu kaget lagi. Terimakasih segalanya. Karena
"salira", lelaki yang aku inginkan untuk mendampingi hidupku.
"Beurang na lamunan
mun peuting dina impian
teu weleh ngagoda
ngahias amparan rasa
nyanding dina dada
mung aya ukur salira
keur salamina"
"Beurang na lamunan
mun peuting dina impian
teu weleh ngagoda
ngahias amparan rasa
nyanding dina dada
mung aya ukur salira
keur salamina"
Yang (Harus) Lenyap
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Rabu, 17 September 2014
/
Comments: (0)
Wahai, sesuatu yang sewajarnya aku jenuhi
Coba fikirkan lagi, lagi, dan lagi
Bagaimana kamu bisa tetap hadir?
Meski semampuku sudah bermeter-meter meninggalkanmu di kedalaman sana.
Berharap sesuatu menghabisimu disana
Atau sesuatu lainnya membawamu semakin jauh dari permukaan.
Atau mungkin kamu dengan jurusmu dapat menghilang dan lupa mantra kembali.
Atau ada seseorang membantu memapahku menjauhimu, lalu dengan senyumnya yang menawan; serta merta aku dapat terbang, menunjukkan dua sayapku yang rupawan dan lalu mengelilingimu.
Menyuruhmu dengan lembut; hancur!
Oh, kau…apapula yang malah membuatmu mengapung, melesat jauh dari permukaan, dan menari-nari indah di hamparan biru yang lain?
Dan lihat, betapa lancangnya kau!
Kau mengepakkan kedua sayapmu yang pincang?
Seketika sayap-sayapku rontok; terbagi menjadi ratusan keping, berserakan dan berkilauan.
September 2014
Coba fikirkan lagi, lagi, dan lagi
Bagaimana kamu bisa tetap hadir?
Meski semampuku sudah bermeter-meter meninggalkanmu di kedalaman sana.
Berharap sesuatu menghabisimu disana
Atau sesuatu lainnya membawamu semakin jauh dari permukaan.
Atau mungkin kamu dengan jurusmu dapat menghilang dan lupa mantra kembali.
Atau ada seseorang membantu memapahku menjauhimu, lalu dengan senyumnya yang menawan; serta merta aku dapat terbang, menunjukkan dua sayapku yang rupawan dan lalu mengelilingimu.
Menyuruhmu dengan lembut; hancur!
Oh, kau…apapula yang malah membuatmu mengapung, melesat jauh dari permukaan, dan menari-nari indah di hamparan biru yang lain?
Dan lihat, betapa lancangnya kau!
Kau mengepakkan kedua sayapmu yang pincang?
Seketika sayap-sayapku rontok; terbagi menjadi ratusan keping, berserakan dan berkilauan.
September 2014
Mati, terang, temaram
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Senin, 23 Juni 2014
/
Comments: (0)
Mengapa lambat laun lampu yang kau hidupkan semakin temaram?
Anehnya, di ruangan yang aku tempati, lampu yang aku hidupkan beberapa saat lalu, terangnya semakin menjadi. Lebih terang dari yang dulu pertama kali kau lihat. Beda sekali denganmu bukan? Semakin terang tetapi sungguh menyilaukan mata. Aku harus terpaksa menyipit, atau aku akan menangis.
Bagaimana kamu bisa membuatnya menjadi temaram? Sepertinya ruanganmu lebih sejuk dari yang kupunya, iyakah? Ayolah.... Ajari aku membuatnya menjadi temaram! Agar aku bisa sepertimu; menyembunyikan segalanya di balik ke-temaram-an yang kau punya.
Anehnya, di ruangan yang aku tempati, lampu yang aku hidupkan beberapa saat lalu, terangnya semakin menjadi. Lebih terang dari yang dulu pertama kali kau lihat. Beda sekali denganmu bukan? Semakin terang tetapi sungguh menyilaukan mata. Aku harus terpaksa menyipit, atau aku akan menangis.
Bagaimana kamu bisa membuatnya menjadi temaram? Sepertinya ruanganmu lebih sejuk dari yang kupunya, iyakah? Ayolah.... Ajari aku membuatnya menjadi temaram! Agar aku bisa sepertimu; menyembunyikan segalanya di balik ke-temaram-an yang kau punya.
Sepasang Mata Itu (1)
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Minggu, 22 Juni 2014
/
Comments: (0)
Sepasang mata itu. Ada kesedihan menggelayut disana.
Mereka ialah para pencari sepi; Yang berlari dari daratan menuju tepi, meraih dayung dan mendayung perahunya sendirian. Pelan. Mengambang diantara sekian juta volume air yang juga diam. Menghujani air dengan air lain yang bersumber dari keduanya. Terisak. Lalu isakkannya tersamarkan suara kecipak kecipuk dayung. Hening. Mereka hanya butuh dua tangan itu. Dua tangan yang dengan sendirinya harus mengeringkan sudut-sudut yang masih lembab. Segera. Sebelum sampai di seberang di tepi yang lain.
Mereka ialah para pencari sepi; Yang berlari dari daratan menuju tepi, meraih dayung dan mendayung perahunya sendirian. Pelan. Mengambang diantara sekian juta volume air yang juga diam. Menghujani air dengan air lain yang bersumber dari keduanya. Terisak. Lalu isakkannya tersamarkan suara kecipak kecipuk dayung. Hening. Mereka hanya butuh dua tangan itu. Dua tangan yang dengan sendirinya harus mengeringkan sudut-sudut yang masih lembab. Segera. Sebelum sampai di seberang di tepi yang lain.
Sedikit dan Itu Ragu
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Selasa, 17 Juni 2014
/
Comments: (0)
Lalu aku kembali ingin mempertanyakan ini. Bagaimana bisa di tengah sikap baikmu itu aku masih mengigaukan keraguan? Sedangkan mungkin di satu hati yang lain, kamu, sedang bersusah payah mencoba meyakinkan. Tapi,
jika itu tidak bersumber dari apa yg ada di dalam dirimu, lantas hal
lain apa yg kemudian membuatku bisa berperasaan seperti ini? :)
Biarlah
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Kamis, 12 Juni 2014
/
Comments: (0)
Hanya karena kamu yang terlalu menyenangi mengenang tentang dia. Jadi jangan salahkan aku jika diam ini menjadi pilihan.
Apa terlalu sayangnya hingga kamu tak sampai hati meninggalkannya begitu saja? Kalau kamu tak tega membuangnya, coba cari tempat paling aman agar hati yang seperti aku punya, tak kesakitan. Kalau tempat paling aman itu ialah hatimu, coba saja simpan disana. Biarlah. Biarlah aku menjadi orang tak tahu diri yang akan mencoba tahu diri. Mendoakan kebahagiaan untukmu.
Apa terlalu sayangnya hingga kamu tak sampai hati meninggalkannya begitu saja? Kalau kamu tak tega membuangnya, coba cari tempat paling aman agar hati yang seperti aku punya, tak kesakitan. Kalau tempat paling aman itu ialah hatimu, coba saja simpan disana. Biarlah. Biarlah aku menjadi orang tak tahu diri yang akan mencoba tahu diri. Mendoakan kebahagiaan untukmu.
Saat ini > Hari kemarin
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Rabu, 11 Juni 2014
/
Comments: (0)
Aku jatuh cinta pada orang yang sama setiap harinya. Saat ini, lebih dari hari yang kemarin, begitu seterusnya. Meskipun yang aku dapatkan hanya ke-entah-an, esok lusa yang katanya tak menyerupa. Tetapi semoga mantraku mustajab. Meluluhkan ke-entah-an dan menguapkannya menjadi doa dan harapan.
Aku, Beliau, dan Celana Boy
Diposting oleh
Tita Nurlaila
on Selasa, 03 Juni 2014
/
Comments: (2)
Lebaran?
Bagi anak kecil tertentu, lebaran itu wajib hukumnya dibelikan baju baru. Para
orangtua, khususnya ibu-ibu, akan mulai sibuk mencari-cari baju lebaran untuk
anaknya beberapa hari menjelang lebaran tiba. Tapi apa jadinya jika yang sibuk
mencarikan adalah yang bapak-bapak?
Aku termasuk salah satu dari beberapa
kemungkinan itu. Bapakku punya tugas khusus menjelang hari lebaran tiba. Yap,
membelikanku baju lebaran secara sepihak. Aku tidak pernah diberi pilihan untuk
mengajukan permintaan tentang baju dengan model apa yang ingin aku pakai saat
lebaran, tentang warna apa, tentang gambar apa. Tidak pernah. Aku hanya bisa berharap-harap
cemas dan menebak-nebak baju seperti apa yang akan aku dapatkan nanti. Eh, apa
anak kecil memang hanya terima jadi saja?
Beberapa kali lebaran, saat aku belum mengenal
bangku sekolah, aku dibelikan celana oto.
Begitulah jenis celana itu terkenal di daerah kami. Biasanya bahannya dari jeans.
Jika celana pada umumnya, di bagian depannya hanya sampai sebatas pinggang saja,
maka celana oto ini memiliki penutup
dada yang dihubungkan dengan kancing. Kancing tersebut lalu akan dipasangkan
dengan cantolan besi yang diikatkan pada tali dari bagian belakang celana. Aih,
sulit sekali menjelaskannya. Semoga penjelasan rumitku bisa dibayangkan para
pembaca. *hehehehe
Aku punya dua celana oto pada waktu itu. Satu berwarna abu dan satu lagi biru tua. Yang
abu, dipasangkan dengan kaos merah dengan begitu banyak sablonan di bagian
depannya. Dari bentuk lengannya, aku cukup berlega hati karena itu tidak
mungkin didesain untuk anak laki-laki, meskipun celananya memang terlihat
sangat macho. Tapi toh aku masih
sering disebut cantik pada waktu itu. *hehehe
Yang
biru tua, di sisi kanan kiri nya terdapat gambar boneka panda gendut dengan
motif garis-garis horizontal berwarna putih. Lucu sekali. Dipasangkan dengan
baju berwarna pink tua dengan gambar laki-laki dewasa memegang tongkat golf
hendak memukul bola dan karet melingkari kedua bagian lengan baju tersebut. Yap,
itu tidak terlihat macho sama sekali. Aku bahkan berani foto studio pertama
kali mengenakan pasangan baju itu. Aih, beliau memang istimewa. Memilihkan
baju-baju itu, beberapa tahun lalu, dan aku masih bisa dengan jelas
mengingatnya di usia 21 tahunku ini.
Kemudian, lebaran ke sekian, entah
darimana aku bisa begitu terjerumus. Beberapa hari menjelang lebaran datang,
aku ditawari seorang pedagang langsung datang ke rumah. Yap, aku mudah sekali
terbujuk. Aku terbujuk untuk memiliki baju berkerah cokelat hitam itu. Dan
lebih parahnya, aku juga terbujuk membeli celana jeans panjang bertuliskan “Boy”.
Aku baru tahu belakangan dari bibi-bibiku, kalau “Boy” itu artinya laki-laki.
Kenyataan yang cukup membuat dadaku sesak. T.T
Mamah
sudah menjelaskan berulang kali kalau pakaian itu lebih bagus untuk anak
laki-laki, bla bla bla, sampai ke penjelasan tentang reaksi yang akan
dihasilkan beliau. Kalau beliau tau, beliau akan langsung memarahiku atau
sejenisnya seperti meledek, mencibir, dsb. Ternyata benar, setelah beliau tau,
beliau hanya meledek dan membanggakan diri kalau pilihannya selalu lebih bagus.
Oke, demi menghindari ejekan-ejekan
bibi-bibiku, baju itu hanya dipakai satu-dua kali saja selama itu. Setelah itu,
aku amankan di lemari dan berharap segera mendapat adik laki-laki. Tapi apa yang
terjadi? Beberapa tahun kemudian, setelah adikku tumbuh besar, dia yang
laki-laki saja enggan mengenakan pakaian itu. Yaampun, betapa malunya aku, dulu aku yang seorang perempuan pernah dengan PD nya berkeliaran di luar rumah
mengenakan baju berwarna gelap berkerah dan celana jeans gelap bertuliskan “Boy”.
:D
'Ini'
Diposting oleh
Tita Nurlaila
/
Comments: (2)
Entah
sampai umur ke berapa aku akan berhenti menamai ‘ini’ dengan sebutan merepotkan.
Sampai kapanpun aku pasti selalu merepotkan kalian, tapi pada batas tertentu,
merepotkan yang aku maksud mungkin akan hanya tinggal kenangan. Tinggal nama. Hanya
tinggal menyaksikan gelak tawa kalian ketika mengenang betapa sulitnya
menjalani waktu sampai di saat itu. Semoga.
Mengapa
aku tidak bisa se-leluasa yang lainnya terhadap kalian? Padahal, jujur saja,
kalianlah yang pertama akan aku cari saat aku mendapatkan kebahagiaan dan
kesedihan. Boleh dikatakan, kalian adalah tempat aku bergantung di dunia.
Kalian adalah sumber kehidupan. Tanpa kalian, bahkan saat ini aku tak akan bisa
menuliskan ini. Tapi, ada yang selalu aku sembunyikan dari kalian. Menunggu
sampai rasanya tak biasa lagi, menunggu sampai ‘ini’ memuncak dan memanas di
kepala, menunggu sampai aku sungguh tak bisa menahannya, barulah aku sanggup
menuturkannya kepada kalian.
Ingin
rasanya hari ini kujumpai kalian. Mengadu betapa sakitnya menahankan rindu
kepada kalian. Betapa perih juga memendam ‘ini’ sendirian. Betapa kesulitannya
menyugestikan agar air mata ini tidak lantas jatuh begitu saja. Tapi jujur
saja, aku tidak bisa menahan ‘ini’ sendirian. Aku ingin berbagi. Tetapi kepada
siapa? Kepada kalian? Ada saat dimana aku harus terpaksa berbagi ‘ini’ kepada
kalian. Tolong, tolong maafkan aku karena lagi-lagi aku tak bisa mendapatkan
tempat bergantung lain selain kalian. Tidak ada. Aku, aku sepertinya terpilih
seperti ini sejak kecil. :)