RSS

Mati, terang, temaram

Mengapa lambat laun lampu yang kau hidupkan semakin temaram?
Anehnya, di ruangan yang aku tempati, lampu yang aku hidupkan beberapa saat lalu, terangnya semakin menjadi. Lebih terang dari yang dulu pertama kali kau lihat. Beda sekali denganmu bukan? Semakin terang tetapi sungguh menyilaukan mata. Aku harus terpaksa menyipit, atau aku akan menangis.
Bagaimana kamu bisa membuatnya menjadi temaram? Sepertinya ruanganmu lebih sejuk dari yang kupunya, iyakah? Ayolah.... Ajari aku membuatnya menjadi temaram! Agar aku bisa sepertimu; menyembunyikan segalanya di balik ke-temaram-an yang kau punya.

Sepasang Mata Itu (1)

Sepasang mata itu. Ada kesedihan menggelayut disana.

Mereka ialah para pencari sepi; Yang berlari dari daratan menuju tepi, meraih dayung dan mendayung perahunya sendirian. Pelan. Mengambang diantara sekian juta volume air yang juga diam. Menghujani air dengan air lain yang bersumber dari keduanya. Terisak. Lalu isakkannya tersamarkan suara kecipak kecipuk dayung. Hening. Mereka hanya butuh dua tangan itu. Dua tangan yang dengan sendirinya harus mengeringkan sudut-sudut yang masih lembab. Segera. Sebelum sampai di seberang di tepi yang lain.

Sedikit dan Itu Ragu

Lalu aku kembali ingin mempertanyakan ini. Bagaimana bisa di tengah sikap baikmu itu aku masih mengigaukan keraguan? Sedangkan mungkin di satu hati yang lain, kamu, sedang bersusah payah mencoba meyakinkan. Tapi, jika itu tidak bersumber dari apa yg ada di dalam dirimu, lantas hal lain apa yg kemudian membuatku bisa berperasaan seperti ini? :)

Biarlah

Hanya karena kamu yang terlalu menyenangi mengenang tentang dia. Jadi jangan salahkan aku jika diam ini menjadi pilihan.

Apa terlalu sayangnya hingga kamu tak sampai hati meninggalkannya begitu saja? Kalau kamu tak tega membuangnya, coba cari tempat paling aman agar hati yang seperti aku punya, tak kesakitan. Kalau tempat paling aman itu ialah hatimu, coba saja simpan disana. Biarlah. Biarlah aku menjadi orang tak tahu diri yang akan mencoba tahu diri. Mendoakan kebahagiaan untukmu.

Saat ini > Hari kemarin

Aku jatuh cinta pada orang yang sama setiap harinya. Saat ini, lebih dari hari yang kemarin, begitu seterusnya. Meskipun yang aku dapatkan hanya ke-entah-an, esok lusa yang katanya tak menyerupa. Tetapi semoga mantraku mustajab. Meluluhkan ke-entah-an dan menguapkannya menjadi doa dan harapan.

Aku, Beliau, dan Celana Boy



Lebaran? Bagi anak kecil tertentu, lebaran itu wajib hukumnya dibelikan baju baru. Para orangtua, khususnya ibu-ibu, akan mulai sibuk mencari-cari baju lebaran untuk anaknya beberapa hari menjelang lebaran tiba. Tapi apa jadinya jika yang sibuk mencarikan adalah yang bapak-bapak?

          Aku termasuk salah satu dari beberapa kemungkinan itu. Bapakku punya tugas khusus menjelang hari lebaran tiba. Yap, membelikanku baju lebaran secara sepihak. Aku tidak pernah diberi pilihan untuk mengajukan permintaan tentang baju dengan model apa yang ingin aku pakai saat lebaran, tentang warna apa, tentang gambar apa. Tidak pernah. Aku hanya bisa berharap-harap cemas dan menebak-nebak baju seperti apa yang akan aku dapatkan nanti. Eh, apa anak kecil memang hanya terima jadi saja?
Beberapa kali lebaran, saat aku belum mengenal bangku sekolah, aku dibelikan celana oto. Begitulah jenis celana itu terkenal di daerah kami. Biasanya bahannya dari jeans. Jika celana pada umumnya, di bagian depannya hanya sampai sebatas pinggang saja, maka celana oto ini memiliki penutup dada yang dihubungkan dengan kancing. Kancing tersebut lalu akan dipasangkan dengan cantolan besi yang diikatkan pada tali dari bagian belakang celana. Aih, sulit sekali menjelaskannya. Semoga penjelasan rumitku bisa dibayangkan para pembaca. *hehehehe
Aku punya dua celana oto pada waktu itu. Satu berwarna abu dan satu lagi biru tua. Yang abu, dipasangkan dengan kaos merah dengan begitu banyak sablonan di bagian depannya. Dari bentuk lengannya, aku cukup berlega hati karena itu tidak mungkin didesain untuk anak laki-laki, meskipun celananya memang terlihat sangat macho. Tapi toh aku masih sering disebut cantik pada waktu itu. *hehehe
Yang biru tua, di sisi kanan kiri nya terdapat gambar boneka panda gendut dengan motif garis-garis horizontal berwarna putih. Lucu sekali. Dipasangkan dengan baju berwarna pink tua dengan gambar laki-laki dewasa memegang tongkat golf hendak memukul bola dan karet melingkari kedua bagian lengan baju tersebut. Yap, itu tidak terlihat macho sama sekali. Aku bahkan berani foto studio pertama kali mengenakan pasangan baju itu. Aih, beliau memang istimewa. Memilihkan baju-baju itu, beberapa tahun lalu, dan aku masih bisa dengan jelas mengingatnya di usia 21 tahunku ini.
          Kemudian, lebaran ke sekian, entah darimana aku bisa begitu terjerumus. Beberapa hari menjelang lebaran datang, aku ditawari seorang pedagang langsung datang ke rumah. Yap, aku mudah sekali terbujuk. Aku terbujuk untuk memiliki baju berkerah cokelat hitam itu. Dan lebih parahnya, aku juga terbujuk membeli celana jeans panjang bertuliskan “Boy”. Aku baru tahu belakangan dari bibi-bibiku, kalau “Boy” itu artinya laki-laki. Kenyataan yang cukup membuat dadaku sesak. T.T
Mamah sudah menjelaskan berulang kali kalau pakaian itu lebih bagus untuk anak laki-laki, bla bla bla, sampai ke penjelasan tentang reaksi yang akan dihasilkan beliau. Kalau beliau tau, beliau akan langsung memarahiku atau sejenisnya seperti meledek, mencibir, dsb. Ternyata benar, setelah beliau tau, beliau hanya meledek dan membanggakan diri kalau pilihannya selalu lebih bagus.
          Oke, demi menghindari ejekan-ejekan bibi-bibiku, baju itu hanya dipakai satu-dua kali saja selama itu. Setelah itu, aku amankan di lemari dan berharap segera mendapat adik laki-laki. Tapi apa yang terjadi? Beberapa tahun kemudian, setelah adikku tumbuh besar, dia yang laki-laki saja enggan mengenakan pakaian itu. Yaampun, betapa malunya aku, dulu aku yang seorang perempuan pernah dengan PD nya berkeliaran di luar rumah mengenakan baju berwarna gelap berkerah dan celana jeans gelap bertuliskan “Boy”. :D


'Ini'



          Entah sampai umur ke berapa aku akan berhenti menamai ‘ini’ dengan sebutan merepotkan. Sampai kapanpun aku pasti selalu merepotkan kalian, tapi pada batas tertentu, merepotkan yang aku maksud mungkin akan hanya tinggal kenangan. Tinggal nama. Hanya tinggal menyaksikan gelak tawa kalian ketika mengenang betapa sulitnya menjalani waktu sampai di saat itu. Semoga.
          Mengapa aku tidak bisa se-leluasa yang lainnya terhadap kalian? Padahal, jujur saja, kalianlah yang pertama akan aku cari saat aku mendapatkan kebahagiaan dan kesedihan. Boleh dikatakan, kalian adalah tempat aku bergantung di dunia. Kalian adalah sumber kehidupan. Tanpa kalian, bahkan saat ini aku tak akan bisa menuliskan ini. Tapi, ada yang selalu aku sembunyikan dari kalian. Menunggu sampai rasanya tak biasa lagi, menunggu sampai ‘ini’ memuncak dan memanas di kepala, menunggu sampai aku sungguh tak bisa menahannya, barulah aku sanggup menuturkannya kepada kalian.
          Ingin rasanya hari ini kujumpai kalian. Mengadu betapa sakitnya menahankan rindu kepada kalian. Betapa perih juga memendam ‘ini’ sendirian. Betapa kesulitannya menyugestikan agar air mata ini tidak lantas jatuh begitu saja. Tapi jujur saja, aku tidak bisa menahan ‘ini’ sendirian. Aku ingin berbagi. Tetapi kepada siapa? Kepada kalian? Ada saat dimana aku harus terpaksa berbagi ‘ini’ kepada kalian. Tolong, tolong maafkan aku karena lagi-lagi aku tak bisa mendapatkan tempat bergantung lain selain kalian. Tidak ada. Aku, aku sepertinya terpilih seperti ini sejak kecil. :)