RSS

Selamat Ulang Tahun, Mamah :)



                Empat puluh sembilan tahun, Mah. Mamah sudah merasakan pahit manis kehidupan. Melahirkan teteh, melahirkan aku, kehilangan teteh, lalu melahirkan adik. Sudah empat puluh sembilan tahun, tapi aku belum bisa memberikan apa-apa untukmu. Hari ini aku belum menjadi siapa-siapa. Aku masih di posisi yang ketika kehabisan uang, aku merengek meminta. Ketika menginginkan sesuatu, segera meminta dipenuhi. Ketika mengeluh kesakitan, aku minta dirawat. Dan saat kita berjauhan, aku masih merengek-rengek merinduimu. Maaf untuk semua itu, Mah.
Aku masih selalu merepotkan. Meskipun sebenarnya ketika engkau aku repotkan, engkau akan tersenyum begitu ikhlas. Melakukan apapun yang bisa engkau lakukan untuk menyenangkan anak-anakmu. Apakah memang ada pelatihan khusus untuk menjadi seorang ibu? Mengapa seorang ibu, termasuk engkau, selalu saja pintar melakukan apapun? Menjahitkan baju-baju yang robek, memasak makanan enak-enak walau sedang puasa, membuatkan sapu lidi untuk kerajinan sekolah, menata kamar, mengikat rambut dengan berbagai variasi, membuatkan kalung manik-manik, bahkan bisa membetulkan kompor minyak yang rusak. Luar biasa sekali. Sampai sebesar inipun, ketika resleting tas rusak, aku kemudian berfikir untuk menghubungimu. Mengingat dibawah gemulainya tanganmu, resleting tas yang ‘garah’ pun bisa kembali normal. Meski sebegitu jelasnyapun engkau memberitahukan cara membetulkannya, ternyata aku masih sangat bergantung kepadamu, Mah.  Ya, bahkan hanya untuk urusan kecil seperti resleting tas rusak tadi.
Aku masih belum bisa memberi apa-apa. Memberi rasa bangga? Apa yang bisa engkau banggakan dariku, Mah? Belum ada kan?
Aku kadang menertawakan kelucuan engkau, Mah. Biasanya, setiap hari libur (Sabtu atau Minggu) kita menghabiskan waktu berjam-jam bersenda gurau lewat  telepon. Dari mulai bertanya kabar, masakan apa yang dimasak hari itu, sampai pada kabar tetangga-tetangga rumah yang juga tak lupa selalu aku tanyakan. Kemudian engkau akan mengeluh. Tentang teman-teman SD atau bahkan adik kelasmu yang setiap sore lalu lalang depan rumah sambil menggendongi cucu-cucu mereka. Menyuapi buah hatinya atau bahkan hanya melihat domba-domba yang digembalakan di lapangan. Dengan nada bicara yang merajuk, lantas engkau akan melakukan pembelaan sendiri, tentang rambutmu yang belum ber-uban, kemudian tentang wajahmu yang masih cantik dan terlihat muda. Jadi mungkin belum pantas untuk menggendong cucu. Begitu katamu. Itu alasan yang tepat, Mah… InsyaAlloh *hihihi… Maaf juga untuk hal ini mah.. semoga beberapa tahun kemudian, keinginanmu bisa segera aku penuhi. Aaamiin.. :)
Sudah 49 tahun loh Mah. Pasti engkau lupa hari ulangtahunmu sendiri kalau tak diingatkan. Selamat ulang tahun ya, Mah.. Wilujeng tepang taun.. Tetap sehat seperti sekarang ya, Mah. Mamah harus panjang umur, mamah harus sehat, semoga penyakit apapun itu tidak ada yang berani mengganggu tubuh mamah. Semoga aku dan adik bisa jadi anak yang sukses yang kelak bisa membahagiakanmu, Mah. Semoga disaat kita berjauhan seperti sekarang, ketika engkau merinduiku lantas ingin bertemu tapi memang keadaan yang tak memungkinkan, tidak menjadikanku melukai perasaanmu. Mamah harus sehat, tulang-tulang mamah harus tetap kuat, mamah harus panjang umur, agar kelak bisa bermain dengan cucu-cucumu, Mah… Semangat untuk tetap sehat ya mamaaaah.. I Love U :*



Untuk bunda, dari suatu masa yang disebut masa depan



Bunda, ini dari anakmu di masa depan…….

Selamat pagi bunda, selamat hari Sabtu. Bunda sehat? Semoga bunda selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin.. Hari ini aku menatap foto bunda, lama sekali. Bunda sungguh tidak pernah berubah. Selalu menjadi sosok paling dirindukan. Tiba-tiba si kecil datang dan mengusap titik-titik bening di ujung-ujung mataku. “Bunda kangen nenek ya?”, begitu ujarnya. Aku hanya bisa mengangguk meng-iya-kan dan memeluknya, bun. Dia sudah jauh lebih pintar dari saat terakhir kita bertemu. Dia sudah hafal surat-surat pendek banyak sekali, dan kemarin hafalan Ad-duha nya baru selesai. Sungguh menggemaskan memang,  bun. Koleksi bukunya banyak sekali dan tentu saja ayahnya yang mengajarinya gemar membaca. Dia juga semakin senang bercerita dan semakin bawel. Bunda siap-siap saja untuk mendengarkan curhatan-curhatan kecilnya. Aku tidak pandai mendongeng dan bercerita, sehingga untuk urusan yang dua itu aku serahkan dan percayakan sepenuhnya pada ayahnya.

Bunda, bagaimana pohon rambutan di depan rumah kita? Sudah berbuah kah? Sering sekali aku merindukan masa-masa dimana bunda memetikkan buah rambutan merah-merah untukku. Lalu bunda akan memilihkan yang besar dan merah, dan tak lupa mengusir semut-semut nya lebih dulu sebelum memberikannya padaku. Aku dan si kecil pun begitu. Hal-hal seperti itu memang naluriah ya bun? Aku selalu ingin menyeleksi apapun yg akan masuk ke dalam mulutnya. “Bunda ih kupasin buahnya, getahnya bikin tangan item-item bun, jijik.” Lucu sekali melihat wajahnya cemberut setiap kali aku menyuruhnya mengupas cangkang rambutan sendiri. Kadang kalau dia lagi sensitif, biasanya langsung nangis, persis bunda nya dulu. Nah, kalau sudah nangis begitu, ayahnya yang akan berbaik hati mengupaskannya. Alhasil seharian itu dia hanya mau nempel sama ayahnya. Aku dicuekin, bun. Dua makhluk itu selalu menggemaskan, bun. Sungguh.

Melihat bagaimana keluarga kecilku sekarang, aku selalu dan selalu ingat bunda. Bagaimana tidak? Siang dan malam, bunda selalu mendoakan kebaikan dan kebahagiaan untukku. Bunda, apa rahasianya sehingga doa-doa bunda itu bisa terkabulkan? Saat ini aku sangat bahagia, bun. Dulu bunda selalu bilang: “Semoga kelak dapat suami yang baik segala-galanya.” Alhamdulillah bun, dia sangat melengkapiku. Dia sungguh luar biasa untuk menjadi imamku. Aku bahkan tidak sungkan untuk mengatakan bahwa dia adalah menantu yang baik untukmu, bunda. Belum lagi ada si kecil menggemaskan yang hadir di tengah-tengah kami. Dia seperti matahari yang baru saja terbit. Selalu ceria. Selalu minta diajari ini itu. Selalu bercerita. Kami mencintainya lebih dari apapun, bun.

Untuk doa-doa yang selalu engkau panjatkan sejak aku dilahirkan sampai saat ini, terimakasih banyak bundaaaa. Semoga bunda disayang Alloh :)


Dear Kamu



Dear kamu,
                Selamat malam kamu… sedang apa sekarang?
Aih, aku bahkan hampir selalu tau kebiasaan-kebiasaanmu beberapa bulan terakhir ini. Tapi tidak ada salahnya kan kalau aku menanyaimu terus menerus seperti itu? Karena aku sudah menempatkanmu di posisi penting, jadi mengenai pertanyaanku itu, aku harap kamu tidak pernah bosan. Semua apapun tentang kamu selalu menjadi penting. Meskipun itu tentang sesuatu yang hanya akan membuatku sedikit sakit hati, aku tidak peduli. Selagi itu tentang kamu, ya itu penting.
                Bagaimana kabarmu?
Hey, aku bahkan bisa memastikan dan menyaksikan kamu dan keadaanmu baik-baik saja atau tidak setiap harinya. Nah, kenapa masih harus ditanyakan lagi ya? Berarti anggap saja pertanyaan itu adalah tentang aku yang berharap selalu mendapat jawaban: “Alhamdulillah aku baik-baik saja, aku sehat, aku semangat, aku bahagia.” Tapi juga bukan berarti kamu harus berpura-pura ‘baik-baik saja’ di depanku. Saat kamu membutuhkan teman berbagi, tempat sandaran, tempat berkeluh kesah, maka anggap saja aku sebagai orang tepat. Maka dengan sugestimu itu, semoga memang akhirnya aku adalah orang tepat yang bisa menemani kamu dalam keadaan apapun.
                Bagaimana perasaanmu? ………….Emmmm terhadapku?
Duh, entahlah ini penting atau tidak. Tapi sepertinya secara tersirat akan selalu aku tanyakan ini. Kenapa? Karena ketika tiba-tiba kamu berubah, aku bisa bersiap diri mengembalikannya seperti semula. Aih, tapi aku tak mau :( Kamu harus tetap seperti kamu yang sekarang. Lantas apa yang harus aku lakukan agar perasaanmu tetap konstan, wahai kamu yang menyenangkan :) ??
                                                                                                                                                               
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Aku