Masih
hangat dalam ingatan, beberapa belas tahun lalu saat aku mendapat kelas siang di
bangku SD kelas dua. Aku duduk di baris dua dari meja paling depan. Kalian tau “meja
gajah”? Aku dan teman-teman biasa menyebutnya meja gajah. Pada jaman itu,
keberadaan meja gajah masih populer di sekolah kami. Meja panjang bermuatan 2-3
orang yang langsung disatukan dengan kursi panjang pula, dengan bolongan
berbentuk lingkaran di tengah-tengah meja yang katanya berfungsi sebagai
penyimpan tinta orang-orang Belanda di jaman dahulu. Saat itu, meja-meja
tersebut masih kokoh dan masih bagus. Mereka adalah saksi bisu bagaimana aku
dan teman-teman lainnya akhirnya kenal dengan matematika.
Siang
itu menjelang jam istirahat, seusai memberikan materi matematika tentang
konversi panjang yang sengaja dibuat menarik dengan ilustrasi anak tangga, Ibu
Eti memberikan soal cerita prasyarat istirahat. Kami boleh istirahat kalau
diantara kami ada yang bisa mengerjakan dan tentu saja jika hasilnya benar.
Bermenit-menit sampai jam istirahat usai, tidak ada satupun yang bisa
memecahkannya. Sebagai seorang murid yang pernah mendapatkan hadiah uang lima
ratus rupiah dari hasil mendapatkan nilai sempurna di ujian akhir matematika
kelas 1, aku merasa malu berlama-lama berkutat dengan pensil dan buku kotretan tanpa membuahkan hasil. Kali
itu pertama kalinya aku menyadari kalau sekolah itu ternyata memang harus
berfikir. Lalu aku ingat pahlawanku di rumah.
Aku
punya seorang pahlawan yang kukagumi betul. Pahlawan ini yang selanjutnya akan
aku sebut dengan sapaan “beliau”. Aku mempercayakan segalanya kepada beliau.
Termasuk urusan soal cerita matematika yang aku dapat siang itu. Kadang-kadang,
aku baru bisa memahami materi setelah beliau mengajarkannya di rumah. Beliaulah
alasan mengapa aku bisa senang matematika. Beliau yang selalu membantu
menyelesaikan PR sekolah. Bahkan saat pembagian rapor tiba, banyak sekali alasan
mengapa harus beliau yang mengambilkannya. Termasuk salah satunya karena harus
beliau yang pertama kali memberikan senyum saat menerima raporku. Alasan
lainnya, karena beliau mau menjajani apa saja yang aku mau di hari itu hehehe.
Pernah
juga suatu pagi aku enggan pergi sekolah gara-gara hari itu ada pelajaran
olahraga. Aku adalah salah satu dari beberapa murid yang phobia dengan yang
namanya senam lantai. Bagaimana tidak? Setiap kali aku mencoba jungkir balik diatas
kasur lantai, badanku akan kembali terpental ke posisi semula. Selain
memalukan, hal tersebut juga lumayan membahayakan tulang leherku. Beliau, yang
ketika pagi itu risih dengan tangisanku, mengajakku belajar teknik jungkir
balik sampai berkali-kali. Dan lagi-lagi beliau berhasil mengajarkanku dan
mengagalkan niatan bolos kelas olahragaku hari itu. Ah, beliau selalu luar
biasa. Bahkan di hari terakhir beliau memperlihatkan senyumnya untukku.
Beliau
hanya menemaniku sampai kelas 4 SD. Terlalu cepat bukan? Bahkan aku belum
sempat menanyakan bagaimana jika aku jatuh cinta? Bagaimana jika kemudian aku
meninggalkan beliau ke kota impianku? Itu belum sempat aku tanyakan. Yang aku
ingat hari itu, saat beliau pergi jauh sekali, aku menghawatirkan PR PR ku.
Bagaimana jika aku tidak bisa mengerjakannya sendirian tanpa beliau?
Tapi
beliau harus tau, bahkan sampai saat ini ketika aku dipusingkan dengan tugas
proyek fisika ku, aku berharap pahlawanku kembali ada seperti dulu. Hehehe Tapi
beliau sudah sangat mempercayakan kemandirianku sekarang. Jadi, tidak ada lagi
yang bisa aku lakukan selain mendoakan pahlawanku itu, lalu berusaha yang
terbaik agar beliau tersenyum bangga disana. :) :) :)
4 komentar:
saya sangat suka baca cerita2 ttg masa lalumu dg beliau,, saya nantikan cerita2 selanjutnya .. :)
iya makasih mas..ditunggu aja :)
ok,, tlg tag ya,, :)
InsyaAlloh mas :)
Posting Komentar