RSS

Cerpen: Di Luar Hujan



            Saat itu, satu tahun lalu, aku tak sengaja bertemu dia di toko buku ini. Dia duduk di kursi yang  sedang aku duduki sekarang. Sering aku melihatnya memeriksa layar Handphonenya, mengetuk-ngetukkan kaki seirama detak jarum jam, memasang wajah penuh harap, lalu kembali membolak-balikkan tumpukan novel yang ia simpan di sebelah kanannya sejak beberapa menit lalu. Aku yang hanya berjarak 3 meter saja dari tempat dia duduk, dapat mengamati dengan jelas bagaimana bentuk hidungnya, bagaimana bingkai kacamatanya, bagaimana mulutnya bergumam, bagaimana dia tersenyum, dan bagaimana dia melambaikan tangan saat seorang wanita berparas cantik datang dan menemaninya duduk di kursi itu. Ya, disini. Satu tahun lalu dia dan wanita itu duduk di kursi ini.
            Satu tahun setelah itu, hari ini, aku kembali berada di tempat yang sama bersamanya. Tidak ada lagi jarak 3 meter yang memisahkan kami. Hanya satu novel 200an halaman yang ada diantara aku dan dia. Aku lebih senang mengamati wajahnya yang teduh daripada harus menunduk membaca kalimat-kalimat di buku itu lantas melewatkan pemandangan indah di hadapanku begitu saja. Aku menemani kesenangannya membaca buku, lalu dia menemani kesenanganku memandanginya. Oke, bagiku itu cukup adil.
Aku paham betul kebiasaannya. Setelah perjumpaan kami satu tahun lalu, setelah wanita itu meninggalkan dia yang masih tersipu-sipu sendirian di kursi itu, aku menghampirinya lalu mengajaknya berkenalan. Ya, waktu itu memang aku begitu nekad. Tapi hasilnya, saat ini aku bisa melihatnya dalam jarak yang begitu dekat. Hampir setiap minggu kami meluangkan waktu untuk bertemu. Dia akan membaca, dan aku akan mengamatinya. Dia akan berbagi headset, mendengarkan lagu kesukaannya, dan aku akan mencatat setiap lirik yang aku sukai untuk kukirimkan lagi padanya sebelum dia terlelap tidur. Dia akan mencoret-coreti kertas-kertas binderku dengan kutipan-kutipan yang menurutnya bagus. Dan aku, tentang bagus atau tidaknya, itu bukan sesuatu yang penting. Bagiku, yang terpenting adalah bagaimana tembok-tembok kamarku bisa ditempeli tulisan-tulisan tangannya. Dia akan mengatakan persahabatan, dan aku? Aku cukup sedih untuk mengatakan: “Aku senang dengan apapun yang kamu senangi, termasuk persahabatn ini”.
“Aku ingin melukis namamu di atas langit”, gumamnya perlahan dan hampir tidak terdengar.
“Hei, memangnya kamu bisa melukis?”, aku menyela dan meraih novel yang baru saja ia tutup. Dia hanya tersenyum lalu menjawil kedua pipiku, membuatnya semakin merah, bukan karena rasa sakit melainkan karena tersipu. Melihatku begitu, dia lalu menutupi wajahnya dengan novel tebal, menghindari balasan cubitanku yang katanya lebih perih daripada jadi jomblo berbulan-bulan. “Dicubit orang ganteng kayak aku, efeknya memang jadi kayak gitu mbak”, dia terkekeh dibalik novel berwarna putih tua itu. Aku sibuk mencari-cari cara untuk membersihkan sisa-sisa rona merah di pipiku sebelum dia melepaskan novel itu dari wajahnya.
 “Coba baca ini, laki-laki ini gombal betul, mana bisa nama seseorang dilukiskan di langit?”
“Gombal ataupun ngga, saat seorang perempuan menerima ungkapan seperti itu, pastilah dia jadi seneng”.
“Berarti kalau begitu, semua cewek seneng digombalin?”
“Ya gak semua juga sih, tapi kebanyakan mungkin seperti itu”, aku mulai merasa kesulitan menahan frekuensi degup jantungku yang semakin cepat saat dia menyandarkan kepalanya di pundakku sambil melanjutkan bacaannya.
“Aku sedang jatuh cinta……..” Tak ada habisnya kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya membuatku terkaget-kaget sendiri. “…..sama kamu…..”, dia melanjutkan kalimat menggantungnya itu, membuat aku semakin mematung dan dingin.
“Kalau aku bilang gitu ke seseorang, itu bukan gombal kan?”
Se per sekian detik aku menggeleng.
“Kalau ceweknya bilang hal yang sama juga, ceweknya juga bukan lagi ngegombal kan?”
Aku menggeleng lagi. Kali ini dia menjawil hidungku, memancingku untuk sedikt berargumen. Aku sudah tidak peduli lagi bagaimana warna wajahku setelah itu. Aku hanya ingin membenahi hatiku yang sejak dari tadi berantakan.
           “Kamu suka cowok ganteng?”
“Tergantung gantengnya kayak apa dulu”.
“Kalau gantengnya kayak aku?”
Aku mencubit lengannya dan lagi-lagi aku tersipu. Aku mengibaskan lengan kananku untuk segera membuang rasa hangat yang menyerang wajahku seketika.
“Kenapa ga dijawab hmm?”
“Ya, aku suka.”
“Kamu masih ingat Rara ga? Sahabatku yang dulu kamu lihat di toko buku ini juga.”
“Iya, aku ingat. Mbak mbak yang cantik banget itu kan?”
Ya, wanita itu. Yang dulu duduk di kursi ini. Menemani dia mengobrol cukup lama dan aku memperhatikanya. Dulu, satu tahun yang lalu.
“Kemarin dia baru aja nembak aku, terus kamu tau jawabanku apa?”
Aku mulai merasakan panas di daerah mataku. Aku menatap wajahnya yang masih tertunduk pada novel di tangannya.
“Cowok mana yang bisa nolak cewek cantik kayak dia.” Aku menjawabnya ragu-ragu.
“Aih, justru aku menolaknya karena aku masih pengen yang lebih cantik dari dia.”
Aku terdiam, kemudian memainkan ujung-ujung jilbabku. Bingung.
“Kamu tau kenapa orang bisa menjadi gila?”
Aku mengangkat wajahku dan mencoba mengartikan keanehan yang terjadi padanya.
 “Tau hmm?”
Aku menggeleng.
“Kamu tau kalau aku sedang gila?”, dia mulai menutup novel di tangannya.
“Buktinya apa?”, aku memberanikan diri bertanya.
“Kalau Rara nembak aku, terus aku nolak dia, apa menurutmu gila?”
Kali ini dia tidak memberikan kesempatan untukku menjawab atau hanya sekedar menanggapinya dengan bunyi “hmmm”.
“Bukan hanya sekadar gila, tauuu.. tapi gila banget, sangat gila…”, dia tertawa dengan lantangnya.
“Jadi, kamu tau kan kalau penyebab seseorang jadi gila itu gara-gara apa? Ya, gara-gara jatuh cinta, aku jatuh cinta!!!”
“Rara nembak aku, dan tentu aja aku terima, gila aja kalau sampe aku tolak”.
“Mulai minggu depan, Rara akan sering ikut kita ke toko buku ini, kamu setuju?”
Aku mengangguk, lekas membereskan tasku dan segera pulang. Kebetulan di luar sedang hujan. Jadi, ketika aku menangis di antara air hujan, tidak apa-apa kan?

Jangan Pergi



Aku mendengarmu
Apa kamu yang memanggilku?
Terlalu menakutkan mendengarmu seperti itu
Mengigau dan meracau lalu samar-samar aku mendengar namaku

Apa kamu baik-baik saja?
Di tengah lingkaran ini
Aku melihatmu dan suara itu
Begitu menggantung, persis nama itu, namaku

Aku melihatmu
Bagaimana dengan senyumku?
Sudah aku pertahankan ini
Hingga aku tak dapat bedakan lagi aku atau kamu

Kamu mau kemana?
Aku melihatmu menjauh dan suara menggantung itu
Hilang bahkan disaat satu langkah lagi aku menggapaimu
Apa artinya jika begini

Aku melihatku
Menakuti mimpi buruk itu
Tentang kamu, tentang namaku yang samar, tentang kamu yang hilang
Jangan pergi!







Adikku sayang, selamat ulang tahun :*


               

               

            Teteh ingat betul saat kamu lahir, dik. Hari Rabu pagi sebelum teteh berangkat sekolah, mamah mengeluhkan rasa mules yang katanya sangat sakit. Rambut teteh yang biasanya setiap pagi  dibuat macam-macam olehnya, pagi itu hanya diikat dijadikan satu dan itu sama sekali tidak rapi. Belakangan teteh baru ngeh, itu karena saking sakitnya. Dan sayangnya bapak tidak bisa menggantikan pekerjaan mamah dalam hal ikat mengikat rambut. Belakangan teteh juga baru ngeh, itu karena panik.

                Hari Rabu tanggal 22 Maret itu, teteh pulang sekolah lebih awal karena ada rapat guru. Kamu tau dik? Rumah kita mendadak ramai. Banyak tetangga yang hari itu datang ke rumah. Aih dik, melihat senyum mamah sesaat setelah kamu dilahirkan itu rasanya bahagia. Bapak? Yaampun, beliau masih dalam kepanikannya, dik. Duduk canggung di depan perapian. Sebegitu panik kah kedatangan jagoan barunya?
                Oh ya dik, teteh baru menyadari sesuatu. Sebelumnya akan teteh beritahukan kalau teteh dan bapak adalah soulmate. Kami selalu sehati dalam hal apapun termasuk dalam urusan calon bayi yang akan keluar dari perut mamah. Kami berdua sepakat berdoa dan berharap agar adik bayi yang kelak dilahirkan itu adalah perempuan, berbeda dengan mamah yang menginginkan anaknya sejodoh. Tapi setelah kami tau kalau yang lahir itu bayi laki-laki sehat dan lucu, soalan jenis kelamin menjadi tidak penting lagi. Bahkan kemudian kami berdua bersaing untuk selalu mendapatkan posisi tidur paling dekat denganmu, dik. Mamah yang kemudian menyadari tingkah konyol kami, hanya bisa menyindir dengan kalimat ampuhnya: “Katanya pengen bayi perempuan”. Kami berdua cuman bisa nyengir dan segera mengatur jadwal posisi tidur secara bergantian setiap malam.
                Oke dik, ada suatu rentang umur dimana kamu sedang ada dalam masa-masa paling menyebalkan. Tidak akan teteh sebutkan disini, karena menurut teteh, ketika anak kecil selalu ingin dipenuhi keinginannya, maka itu wajar. Masih bisa kah kamu menangis sekencang dulu dik? Aih, sekarang sudah gede ya? Sudah mulai mencurhatkan perempuan ya? :D
                Setelah kamu tumbuh dan terus tumbuh sampai saat ini dik, Teteh sadar betapa kamu selalu menginginkan kehadiran teteh di rumah. Kamu yang selalu ingat dan ingin membagi makanan yang kamu punya untuk teteh, selalu mengomentari dan banyak tidak setuju nya dengan cowok-cowok “itu” (*hehehe semoga yang "ini" kamu setuju, dik), selalu marah saat teteh mengucapkan kata “pulang” untuk Jogja (karena bagimu pulang itu hanya untuk rumah dan keluarga), selalu menciumi baju-baju teteh saat teteh di Jogja (katamu dengan cara itu, teteh seperti “kembali”). Doakan teteh agar bisa segera membahagiakanmu ya dik :)
                Satu hal lagi, maafkan teteh yang kemarin sempat lupa hari ulangtahunmu. Sudah 14 tahun ya sekarang? Selamat ulang tahun adikku sayang, semoga kamu selalu dalam lindungan Alloh dan selalu dinaungi kebahagiaan :)

Tentang yang sudah dilupakan

Sedikit mengintip postingan lama di blog lama yang sekarang sudah tidak pernah lagi tersentuh gara-gara lupa password. Ada sebuah tulisan yang mengerucut dan tertuju kepada seseorang. Bahkan lebih dari itu, pada awalnya blog tersebut dibuat untuk menuliskan segala yang ada sangkut pautnya dengan dia. Tapi sayangnya nihil. Aku seperti layang-layang yang ditarik ulur lalu kemudian ia biarkan lepas dan terbang terbawa angin. Bisa dibilang aku kecewa atas sikapnya yang terlalu mudah memberi harapan. Dulu, yang terbayangkan saat menuliskan paragraf bertanda kutip di bawah adalah dia. Dia yang pertama kali aku jumpai di suatu sore di awal tahun 2012. Mengapa sering sekali aku menyebutnya sebagai senja? Karena pertama kali aku berjumpa dengannya, dia mengenakan pakaian serupa warna senja, lalu oranye nya langit sore menghiasi perjumpaan kami. Dia bukan siapa-siapa, tapi berselang lama dari perjumpaan pertama kami di sore itu, dia lalu berhasil merenggut hati sampai terhitung cukup lama.  Dia cukup menarik. Tentu saja cukup menarik untuk segera dilupakan. Oh, bukan, tetapi sangat menarik untuk SUDAH dilupakan. Dan pada kenyataannya, sekarang, aku mampu berlalu darimu, wahai yang dulu aku sebut-sebut "senja". :)

"Ada banyak hal indah yang tak bisa diungkapkan dengan kata, dan tak dapat dipaparkan dengan tulisan. Menurutku, senja adalah salah satunya. Ketika matahari bersinar, langit membiru, kemudian keadaan tersebut tidak berubah sampai matahari berada di ufuk barat, maka akan ada semacam berkas-berkas berwarna oranye yang menerobos gumpalan-gumpalan awan. Mereka seolah cahaya surga yang sampai ke bumi untuk memberikan kedamaian. Mereka akan tampak seperti emas yang berhamburan di langit. Meskipun hujan, waktu senja adalah waktu paling damai untuk merasakan gemerciknya air. Waktu paling menarik untuk sekedar merasakan peralihan terang dan gelap. Waktu paling hebat untuk membayangkan tentang masa yang akan datang. Dan...............waktu yang tepat untuk memutar kembali memori ketika kita pertama kali bertemu, Senja!! ^^"

Masih Tentang Beliau



Masih hangat dalam ingatan, beberapa belas tahun lalu saat aku mendapat kelas siang di bangku SD kelas dua. Aku duduk di baris dua dari meja paling depan. Kalian tau “meja gajah”? Aku dan teman-teman biasa menyebutnya meja gajah. Pada jaman itu, keberadaan meja gajah masih populer di sekolah kami. Meja panjang bermuatan 2-3 orang yang langsung disatukan dengan kursi panjang pula, dengan bolongan berbentuk lingkaran di tengah-tengah meja yang katanya berfungsi sebagai penyimpan tinta orang-orang Belanda di jaman dahulu. Saat itu, meja-meja tersebut masih kokoh dan masih bagus. Mereka adalah saksi bisu bagaimana aku dan teman-teman lainnya akhirnya kenal dengan matematika.
Siang itu menjelang jam istirahat, seusai memberikan materi matematika tentang konversi panjang yang sengaja dibuat menarik dengan ilustrasi anak tangga, Ibu Eti memberikan soal cerita prasyarat istirahat. Kami boleh istirahat kalau diantara kami ada yang bisa mengerjakan dan tentu saja jika hasilnya benar. Bermenit-menit sampai jam istirahat usai, tidak ada satupun yang bisa memecahkannya. Sebagai seorang murid yang pernah mendapatkan hadiah uang lima ratus rupiah dari hasil mendapatkan nilai sempurna di ujian akhir matematika kelas 1, aku merasa malu berlama-lama berkutat dengan pensil dan buku kotretan tanpa membuahkan hasil. Kali itu pertama kalinya aku menyadari kalau sekolah itu ternyata memang harus berfikir. Lalu aku ingat pahlawanku di rumah.
Aku punya seorang pahlawan yang kukagumi betul. Pahlawan ini yang selanjutnya akan aku sebut dengan sapaan “beliau”. Aku mempercayakan segalanya kepada beliau. Termasuk urusan soal cerita matematika yang aku dapat siang itu. Kadang-kadang, aku baru bisa memahami materi setelah beliau mengajarkannya di rumah. Beliaulah alasan mengapa aku bisa senang matematika. Beliau yang selalu membantu menyelesaikan PR sekolah. Bahkan saat pembagian rapor tiba, banyak sekali alasan mengapa harus beliau yang mengambilkannya. Termasuk salah satunya karena harus beliau yang pertama kali memberikan senyum saat menerima raporku. Alasan lainnya, karena beliau mau menjajani apa saja yang aku mau di hari itu hehehe.
Pernah juga suatu pagi aku enggan pergi sekolah gara-gara hari itu ada pelajaran olahraga. Aku adalah salah satu dari beberapa murid yang phobia dengan yang namanya senam lantai. Bagaimana tidak? Setiap kali aku mencoba jungkir balik diatas kasur lantai, badanku akan kembali terpental ke posisi semula. Selain memalukan, hal tersebut juga lumayan membahayakan tulang leherku. Beliau, yang ketika pagi itu risih dengan tangisanku, mengajakku belajar teknik jungkir balik sampai berkali-kali. Dan lagi-lagi beliau berhasil mengajarkanku dan mengagalkan niatan bolos kelas olahragaku hari itu. Ah, beliau selalu luar biasa. Bahkan di hari terakhir beliau memperlihatkan senyumnya untukku.
Beliau hanya menemaniku sampai kelas 4 SD. Terlalu cepat bukan? Bahkan aku belum sempat menanyakan bagaimana jika aku jatuh cinta? Bagaimana jika kemudian aku meninggalkan beliau ke kota impianku? Itu belum sempat aku tanyakan. Yang aku ingat hari itu, saat beliau pergi jauh sekali, aku menghawatirkan PR PR ku. Bagaimana jika aku tidak bisa mengerjakannya sendirian tanpa beliau?
Tapi beliau harus tau, bahkan sampai saat ini ketika aku dipusingkan dengan tugas proyek fisika ku, aku berharap pahlawanku kembali ada seperti dulu. Hehehe Tapi beliau sudah sangat mempercayakan kemandirianku sekarang. Jadi, tidak ada lagi yang bisa aku lakukan selain mendoakan pahlawanku itu, lalu berusaha yang terbaik agar beliau tersenyum bangga disana. :) :) :)