Kemarin sore, aku menghabiskan sekitar
lebih dari satu jam berpindah-pindah rak buku. Mencari buku-buku yang bisa dibaca
tanpa harus membelinya lebih dulu, kemudian mengutip kalimat-kalimat bagus yang
biasanya ada di bagian jilid paling belakang. Beberapa kali aku tersenyum
sendiri, merasakan penulisnya jahil menyindirku. Saat mataku lelah
mengejar-ngejar untaian huruf dalam buku-buku yang aku baca, aku bisa sedikit
“mengistirahatkannya” beberapa detik. Memejamkan mata, lalu menghirup aroma
khas kertas dengan sedikit mengibaskannya ke arah hidung. Terkadang wanginya memberi
efek menenangkan. Ya, itulah salah satu kesenanganku berada di toko buku,
selain juga bisa menghabiskan waktu bersama dia. *hehehe
Tiba-tiba saja mataku tertuju pada beberapa
novel yang berjejer rapi di hadapanku, aku meraihnya satu yang kebetulan tidak
dibungkus plastik. Aku lupa judulnya, tapi yang jelas buku itu mengisahkan
tentang cinta di balik ketegasan seorang ayah yang kadang dianggap tak nampak.
Aku hanya sempat membacanya beberapa halaman saja, sebelum akhirnya dia
berhasil menggodaku mencari-cari lagi novel-novel bersampul unik.
Di tengah ke-khusyuk-anku membaca novel
ayah itu, tiba-tiba “yang terbaik bagimu”nya Ada Band melantun entah dari
lantai berapa. Aku tersenyum. Dalam batin aku bergumam: “Sejak awal sampai di
tempat ini, lagu-lagunya tidak ada yang tak enak didengar.” Saat itu juga aku
sibuk mencari-cari dia, ingin bercerita tentang beliau yang tiba-tiba saja
menyapaku dalam ingatan. Halaman yang aku baca tengah menceritakan seorang ayah
yang selalu memasang tampang cool
saat teman laki-laki atau sebut saja pacar dari putrinya bertamu ke rumah.
Berpura-pura tidak peduli, padahal sesekali seorang ayah akan mengintip ke
ruang tamu memastikan putrinya baik-baik saja. Lagi-lagi aku tersenyum. Di
tengah keramaian toko buku itu, mana mungkin aku bisa menangis?
Saat itu aku tidak bisa menangis sama
sekali. Padahal ketika menuliskan ulang ke dalam tulisan ini, aku bisa
menangis. Sangat bisa. Ingin sekali rasanya aku mengenalkan dia kepada beliau,
begitupun sebaliknya. Setidaknya, meskipun beliau tidak mengucapkan kata
persetujuan, aku bisa membaca wajah teduhnya. Iya atau tidak. Boleh atau jangan.
Sungguh aku merindukan wajah teduh itu. Wajah yang ketika lelah menghampiri,
matanya berubah sayu, mengisyaratkan aku untuk tidak berulah. Wajah yang ketika
hujan datang, mengajakku duduk di teras depan menikmati gemerciknya air dan
menyanyikan lagu andalannya. Wajah yang ketika pulang kerja mendapati anaknya
tengah bermain Barbie, tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Wajah
mengantuknya saat menemani anak manja nya ngaji subuh di bulan Ramadhan dulu. Wajah
penuh kasih sayangnya saat tengah malam anaknya sering terbangun karena sesak
nafas. Wajah pura-pura nya ketika anaknya minta digendong sewaktu pulang
ngaji dulu. Wajah yang ketika anaknya mengenalkan teman laki-lakinya………………………………………………………
0 komentar:
Posting Komentar