RSS

Bagaimana jika?

Kamu sudah tau bukan? Aku amat senang berhayal. Seperti sudah tersedia kanvas dan tinta di dalamnya, aku tinggal menggambarkan semauku. Itu sudah jadi kebiasaanku sejak kecil. Bagaimana bisa dua buah ikat rambut yang ku pasangkan di kedua lengan boneka panda-ku dulu, tiba-tiba bisa berubah menjadi sebuah gaun? Bagaimana bisa bunga cabe yang ku pasangkan di lidi bisa kelihatan seperti sebuah topi bundar? Belum lagi, botol-botol bedak bayi yang ku punya, sering aku anggap sebagai microphone.  Aih, tapi itu masa kecil. Anak kecil memang gemar sekali berhayal. Sepertinya.

Aku pernah melihat begitu banyak balon keluar dari gumpalan awan. Mereka berterbangan saling kejar. Aku melihat salah satu diantaranya berwarna air. Bening. Bukankah aku pernah memintamu mencarikannya ya? Sepertinya dia terbang jauh entah mendarat atau meledak dimana. Kamu mungkin akan kesulitan mendapatkannya atau bahkan tak akan pernah menemukannya. Tetapi motif hati nya jatuh tepat disini. Sudahlah, aku hanya bergurau. Mana mungkin awan melahirkan balon-balon? Itu hanya sebagian dari mimpi indah yang pernah terjadi, dan mungkin saja sebelumnya sempat aku hayalkan.

Aku juga pernah melihat pasir berwarna langit terik. Biru. (Warna yang kamu suka bukan? Warna yang sering dia pakai juga bukan? hehehe) Butirannya tidak halus, persis pasir-pasir pantai di daerah Gunung Kidul. Aku belum pernah merasakan salju. Tetapi sudah dapat aku pastikan, ketika aku pegang, rasa dinginnya itu serupa dingin salju. Di sekelilingku, ada rumah kayu, cantik sekali. Aku juga melihat kuda jantan berwarna coklat berdiri di hadapanku. Aku melihat wanita itu duduk diatas kuda yang juga kamu tunggangi. Siapa dia? Aku yakin dia bukan ibumu. Hahaha sudahlah, lagi-lagi aku bergurau. Ide cerita ini aku dapatkan dari mimpiku beberapa saat lalu.

Aku pernah mencoba mengetuk pintu si pemilik nama. Dia enggan sekali bersuara apalagi membukanya. Padahal aku tau dia masih ada di dalam. Aku sudah mencoba mendobraknya. Nihil. Didobrak saja sulit, apalagi mungkin kalau aku memintanya secara halus untuk keluar. Kamu tidak menolongku sedikitpun. Emmm untuk yang ini, aku sedikit enggan bergurau.

Bagaimana......jika......di kehidupan yang nyata nya, memang masih seperti itu? hehehe

Aku-Beliau-Dia



Kemarin sore, aku menghabiskan sekitar lebih dari satu jam berpindah-pindah rak buku. Mencari buku-buku yang bisa dibaca tanpa harus membelinya lebih dulu, kemudian mengutip kalimat-kalimat bagus yang biasanya ada di bagian jilid paling belakang. Beberapa kali aku tersenyum sendiri, merasakan penulisnya jahil menyindirku. Saat mataku lelah mengejar-ngejar untaian huruf dalam buku-buku yang aku baca, aku bisa sedikit “mengistirahatkannya” beberapa detik. Memejamkan mata, lalu menghirup aroma khas kertas dengan sedikit mengibaskannya ke arah hidung. Terkadang wanginya memberi efek menenangkan. Ya, itulah salah satu kesenanganku berada di toko buku, selain juga bisa menghabiskan waktu bersama dia. *hehehe
Tiba-tiba saja mataku tertuju pada beberapa novel yang berjejer rapi di hadapanku, aku meraihnya satu yang kebetulan tidak dibungkus plastik. Aku lupa judulnya, tapi yang jelas buku itu mengisahkan tentang cinta di balik ketegasan seorang ayah yang kadang dianggap tak nampak. Aku hanya sempat membacanya beberapa halaman saja, sebelum akhirnya dia berhasil menggodaku mencari-cari lagi novel-novel bersampul unik.
Di tengah ke-khusyuk-anku membaca novel ayah itu, tiba-tiba “yang terbaik bagimu”nya Ada Band melantun entah dari lantai berapa. Aku tersenyum. Dalam batin aku bergumam: “Sejak awal sampai di tempat ini, lagu-lagunya tidak ada yang tak enak didengar.” Saat itu juga aku sibuk mencari-cari dia, ingin bercerita tentang beliau yang tiba-tiba saja menyapaku dalam ingatan. Halaman yang aku baca tengah menceritakan seorang ayah yang selalu memasang tampang cool saat teman laki-laki atau sebut saja pacar dari putrinya bertamu ke rumah. Berpura-pura tidak peduli, padahal sesekali seorang ayah akan mengintip ke ruang tamu memastikan putrinya baik-baik saja. Lagi-lagi aku tersenyum. Di tengah keramaian toko buku itu, mana mungkin aku bisa menangis?
Saat itu aku tidak bisa menangis sama sekali. Padahal ketika menuliskan ulang ke dalam tulisan ini, aku bisa menangis. Sangat bisa. Ingin sekali rasanya aku mengenalkan dia kepada beliau, begitupun sebaliknya. Setidaknya, meskipun beliau tidak mengucapkan kata persetujuan, aku bisa membaca wajah teduhnya. Iya atau tidak. Boleh atau jangan. Sungguh aku merindukan wajah teduh itu. Wajah yang ketika lelah menghampiri, matanya berubah sayu, mengisyaratkan aku untuk tidak berulah. Wajah yang ketika hujan datang, mengajakku duduk di teras depan menikmati gemerciknya air dan menyanyikan lagu andalannya. Wajah yang ketika pulang kerja mendapati anaknya tengah bermain Barbie, tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Wajah mengantuknya saat menemani anak manja nya ngaji subuh di bulan Ramadhan dulu. Wajah penuh kasih sayangnya saat tengah malam anaknya sering terbangun karena sesak nafas. Wajah pura-pura nya ketika anaknya minta digendong sewaktu pulang ngaji dulu. Wajah yang ketika anaknya mengenalkan teman laki-lakinya………………………………………………………

Jangan ucapkan selamat tinggal



Dan kamu
Yang tiba-tiba hadir dengan keraguan itu
Mencoba mengisi bagian kosong, lalu kamu berhasil
Keberhasilan yang pada mulanya aku simpan diam-diam
Berharap kamu segera menyalakan radar
Atau aku yang mematikan radar
Atau kita yang tak usah mengingat “radar”?

Dan kamu
Yang dengan cepat mengisi bagian itu
Bagian yang setelah kedatanganmu….aih, tak bisa dilukiskan
Aku tak dapat lagi bersembunyi dari kamu
Diammu itu, bagiku tetap bersuara
Aku hanya perlu bertanya apapun
Atau aku tak usah mempertanyakan apapun sampai kamu bertanya dan menjawab apapun?

Dan kamu
Yang kini menjadi sepenggal kisah yang tak ingin aku sudahi
Bagian ini, semoga kamu tetap bersemayam disana
Kita sudah saling mengucap selamat datang
Lalu aku begitu menyenangi pintu-pintu yang kamu buka
Maka tersenyumlah saja kamu..
Jangan ucapkan selamat tinggal :)